SAMARINDA – Lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Samarinda mengungkap kelemahan mendasar dalam sistem layanan perlindungan dan pemulihan korban.
Dengan 50 kasus tercatat hanya dalam tiga bulan pertama 2025, Samarinda menjadi sorotan nasional.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Sri Puji Astuti, menyatakan bahwa kondisi ini tak bisa ditangani sebatas pencatatan dan pelaporan saja. Menurutnya, meskipun regulasi telah tersedia dan pelaporan meningkat, upaya perlindungan dan pemulihan korban masih jauh dari ideal.
Ia menyoroti belum optimalnya infrastruktur pendukung seperti rumah aman yang disiapkan oleh UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
“Kita sering bicara soal laporan dan hukum, tapi jarang membahas bagaimana korban dipulihkan secara psikologis dan sosial. Padahal itu sama pentingnya,” ujarnya, Senin (2/6/2025).
Ia mengungkapkan bahwa rumah aman yang ada belum berada di lokasi strategis, minim pengamanan, serta kekurangan fasilitas penting seperti konseling psikologis, layanan kesehatan, dan pendamping hukum.
“Rumah aman itu bukan sekadar tempat singgah. Ini seharusnya menjadi ruang penyembuhan, dengan pengamanan, pendamping profesional, dan akses ke layanan dasar,” tegas Puji.
Kondisi tersebut, menurutnya, menjadi tantangan serius dalam pemulihan korban yang kerap mengalami trauma jangka panjang. Puji mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat perbaikan fasilitas perlindungan dan memastikan sistem rujukan dan rehabilitasi berjalan dengan baik.
“Kita butuh rumah aman yang benar-benar aman, bukan sekadar bangunan. Dan sistem dukungannya harus terintegrasi dengan dinas kesehatan, sosial, dan lembaga hukum,” tambahnya.
Terakhir, Puji juga menekankan bahwa langkah edukatif dan preventif harus disertai dengan penyediaan layanan darurat yang responsif dan profesional jika ingin menurunkan angka kekerasan secara nyata. (Adv/AL)
Leave a Reply