SAMARINDA – Rencana pembangunan Sekolah Rakyat (SR) di Samarinda yang ditujukan bagi keluarga berpenghasilan rendah mendapat sorotan tajam dari Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Anhar.
Ia menilai program tersebut bukan solusi jangka panjang dan justru menegaskan adanya kemiskinan ekstrem yang belum teratasi di kota ini.
“Ini kontradiktif. Syarat masuknya justru karena ketidakmampuan ekonomi. Ini menciptakan stigma baru dan menunjukkan bahwa kota ini masih terjebak dalam kemiskinan ekstrem,” kata Anhar, Rabu (16/7/2025).
Ia menyayangkan penetapan Samarinda sebagai salah satu dari 65 titik pembangunan SR secara nasional. Bagi Anhar, itu bukan pencapaian, melainkan sinyal bahwa ketimpangan sosial dan akses pendidikan masih menjadi masalah serius.
“Pembangunan Sekolah Rakyat mestinya jadi alarm, bukan kebanggaan. Ini semestinya jadi refleksi, bukan dipoles jadi prestasi,” tegasnya.
Anhar juga mengkritik pendekatan pemerintah pusat yang secara gamblang menyasar kelompok miskin, alih-alih membangun sistem pendidikan inklusif. Ia membandingkan program SR dengan GratisPol, program pendidikan gratis tanpa syarat dari Pemprov Kaltim.
“GratisPol tidak membedakan latar belakang siswa. Semua bisa sekolah tanpa harus ‘diakui miskin’ dulu. Itu jauh lebih adil dan tidak menstigma,” ujarnya.
Selain substansi program, Anhar juga menyoroti efektivitas penggunaan anggaran. Menurutnya, alokasi dana ratusan miliar untuk pembangunan fisik sekolah baru dinilai tidak efisien dan rawan penyimpangan. Ia menyarankan agar anggaran tersebut dialihkan menjadi beasiswa langsung bagi siswa.
“Lebih baik bantu langsung siswa lewat beasiswa. Dana diterima utuh dan transparan, minim peluang diselewengkan,” jelasnya.
Ia menegaskan, proyek fisik kerap menjadi celah penyalahgunaan anggaran, berbeda dengan bantuan tunai yang lebih akuntabel. “Kalau bangunan, banyak potensi celah. Tapi kalau beasiswa, misalnya Rp25 juta, ya segitu juga yang diterima siswa,” katanya.
Anhar menilai bahwa kehadiran Sekolah Rakyat tidak boleh dijadikan alat klaim politik. Ia mendorong evaluasi menyeluruh terhadap arah kebijakan pendidikan nasional.
“Ini bukan prestasi, tapi tamparan keras. Kita bicara soal pendidikan merata, tapi faktanya, kita masih butuh sekolah khusus untuk orang miskin. Sistemnya masih timpang,” terangnya.
Ia menyerukan agar kebijakan pendidikan mengarah pada penyatuan, bukan segregasi ekonomi. “Pendidikan itu hak semua, bukan program amal. Jangan ada lagi sekolah yang justru membedakan warga berdasarkan status ekonomi,” pungkasnya. (Adv/AL)
Leave a Reply